Penggunaan Istilah “Ikan Asin” dan Pelanggaran Asusila

Penggunaan Istilah “Ikan Asin” dan Pelanggaran Asusila

Melanggar kesusilaan

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan, penggunaan istilah “ikan asin” dalam konteks percakapan di video tergolong pelanggaran asusila.

Menurut dia, hal itu tidak sepantasnya dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun, apalagi disampaikan di ruang publik oleh mereka yang pernah terikat dalam ikatan perkawinan.

Ia mengatakan, cara seperti ini, menyerang ranah seksual, biasa digunakan untuk membalaskan dendam pribadi dan menjatuhkan harga diri seorang perempuan.

Pelecehan secara verbal

Selain melanggar kesusilaan, penggunaan kata “ikan asin” untuk menggambarkan organ intim wanita juga sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual.

 “Ucapannya itu (ikan asin) merendahkan harkat martabat perempuan. Masuk kategori pelecehan seksual kan ini, menyasar atribut seksual,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni saat dihubungi secara terpisah, Jumat.

Budi menjelaskan, dalam analogi fisiologi tubuh seorang perempuan memang terdapat bagian-bagian tertentu yang mudah lembab hingga menimbulkan efek seperti mengeluarkan bau atau cairan dan tumbuh jamur.

Baca juga  Kejutan diberikan Polres Malang Kota untuk merayakan HUT TNI ke-74

Sebenarnya terdapat banyak istilah yang dapat diartikan sebagai bentuk pelecehan seksual, baik yang sudah populer maupun tidak.

“Istilahnya bisa apa saja, tetapi ini kan memadankan situasi bau yang tidak sedap seperti ikan asin baunya,” ujar dia.

Akan tetapi, pelecehan seperti ini belum memiliki payung hukum yang dapat melindungi korban dan memidanakan pelaku.

Padahal, menurut Budi, pelecehan seksual di Indonesia banyak yang terjadi di ranah ini, misalnya melalui pandangan, perkataan, atau yang lain.

Oleh karena itu, kasus Galih Ginanjar tidak menggunakan pasal pelecehan seksual, melainkan dijerat dengan pasal lain terkait informasi transaksi elektronik (ITE) karena disebarkan lewat media sosial.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

Hal itu merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang mendefinisikan pencabulan sebatas pada tindakan fisik secara langsung.

Merespons hal ini, Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya, salah satunya menyusun Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkannya.

Baca juga  Penjabat Direktur RSUD Aceh Tamiang Menjelaskan Ambulans Toyota Land Cruiser akan dikembalikan Polres Aceh Tamiang

“Saya menegaskan pentingnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan agar kasus seperti ini bisa tertangani dengan baik karena kalau tidak, larinya ke ITE terus,” ujar Budi.

“Ucapannya itu ( ikan asin) merendahkan harkat martabat perempuan. Masuk kategori pelecehan seksual kan ini, menyasar atribut seksual,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni saat dihubungi secara terpisah, Jumat. Budi menjelaskan, dalam analogi fisiologi tubuh seorang perempuan memang terdapat bagian-bagian tertentu yang mudah lembab hingga menimbulkan efek seperti mengeluarkan bau atau cairan dan tumbuh jamur.

Sebenarnya terdapat banyak istilah yang dapat diartikan sebagai bentuk pelecehan seksual, baik yang sudah populer maupun tidak.

“Istilahnya bisa apa saja, tetapi ini kan memadankan situasi bau yang tidak sedap seperti ikan asin baunya,” ujar dia.

Akan tetapi, pelecehan seperti ini belum memiliki payung hukum yang dapat melindungi korban dan memidanakan pelaku.

Baca juga  Unit Reskrim Polsek Pontianak Selatan Kembali Mengamankan Seorang Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Pencurian, Yang Merupakan Seorang Gadis Yang Masih Berusia 19 Tahun

Padahal, menurut Budi, pelecehan seksual di Indonesia banyak yang terjadi di ranah ini, misalnya melalui pandangan, perkataan, atau yang lain.

Oleh karena itu, kasus Galih Ginanjar tidak menggunakan pasal pelecehan seksual, melainkan dijerat dengan pasal lain terkait informasi transaksi elektronik (ITE) karena disebarkan lewat media sosial.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

Hal itu merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang mendefinisikan pencabulan sebatas pada tindakan fisik secara langsung.

Merespons hal ini, Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya, salah satunya menyusun Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkannya.

“Saya menegaskan pentingnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan agar kasus seperti ini bisa tertangani dengan baik karena kalau tidak, larinya ke ITE terus,” ujar Budi.

Ads Blocker Image Powered by Code Help Pro

Ads Blocker Detected!!!

We have detected that you are using extensions to block ads. Please support us by disabling these ads blocker.

Kami mendeteksi bahwa Anda menggunakan ekstensi untuk memblokir iklan. Tolong dukung kami dengan menonaktifkan pemblokir iklan ini.
Powered By
Best Wordpress Adblock Detecting Plugin | CHP Adblock
Please turn AdBlock off